Entri Populer

Sabtu, 30 Mei 2015

TERSENYUM SAMBIL MERENUNG

Pernah aku berkunjung mendadak-tanpa planning-ke Pastoran di Paroki tempat aku bertugas, seorang Pastor Paroki menyambut dengan ramah seperti saat kunjunganku terdahulu. Kami duduk di kamar makan, bercerita dan bercanda hal-hal santai dan ringan. Namun, entah karena apa-aku pun lupa-materi pembicaraan kami bergeser menjadi sedikit berat dan ilmiah. Sementara saat itu jarum jam hampir berhimpit menunjuk angka dua belas dini hari.
"Udah jam segini ya. Masih bisa Ade mendengar cerita yang agak biblis?"
"Bisa!"
"Sanggup?"
"Iya."
"Okelah. Ade tau penciptaan kan? Manusia pertama yang diciptakan Tuhan adalah Adam. Karena gak baik kalau dia sendiri, diciptakan lagi Hawa. Mereka ditempatkan di tempat yang baik, mereka bebas, bertelanjang kesana kemari, makan dengan enak, sampai akhirnya datang iblis. Kita sebut saja Si Ular seperti dalam Alkitab itu. Dia menggoda Hawa. Hawa makan buah pengetahuan yang dilarang Tuhan, setelah itu dia kasih lagi kepada Adam. Setelah mereka makan, mereka jadi sadar dan malu karena mereka telanjang. Lalu mereka diusir dari tempat itu karena sudah melanggar perintah Tuhan. Dari cerita itu siapa yang paling salah? Menurut ade lah..."
"Adam?"
"Hmm.. Iya. Adam kurang tegas. Seandainya dia menolak tidak ikut makan atau mengawasi Hawa biar buah itu gak dimakan, mungkin tidak seperti ini manusia sekarang."
"Jadi, kalau seandainya Hawa makan buah itu tapi Adam gak, apa manusia gak diusir, Pastor?"
"Bisa jadi..."
"Atau Hawa yang diusir tapi Adam tetap di tempat itu?"
"Ya, bisa jadi..."
"Akh, bisa jadi apa? Gak jelas..."
"Yah, itu kan tidak ada yang tau, Ade. Tuhan yang tau."
"Tapi aku punya pertanyaan, Pastor."
"Apa itu?"
"Kalau emang buah terlarang itu gak boleh dimakan, kenapa Tuhan menempatkannya di situ! Trus dibiarin lagi ular menggoda Hawa. Berarti kan yang jahat Tuhan."
"Loh..."
"Iya kan!"
"Haha. Kalau sesuatu itu ada dihadapan kita, apa berarti kita berhak mengambilnya?"
"Iyaa.. Tapi awalnya mereka kan gak mau ambil. Tapi kenapa Tuhan biarkan ular itu menggoda? Apa maksud-Nya?"
Pastor tertawa geli. Mungkin merasa aneh dengan pola pikirku.
"Yah, seperti kataku tadi. Kalau pun ada sesuatu di depan kita bukan berarti seenak kita memegangnya, memilikinya. Seperti Ade saat ini datang ke Pastoran. Apa berarti aku bisa seenaknya megang-megang Ade?"
"Memang gak bole, tapi itukan dari sudut pandang kita, manusia. Yang kupermasalahkan dari sudut pandang Tuhan itu. Apa maksud-Nya meletakkan pohon itu di tengah-tengah kalau emang gak boleh dimakan. Uda gak disentuh ama Adam Hawa, dibiarin lagi ular menggoda ampe akhirnya dimakan. Apa mau-Nya?"
"Tuhan kan ingin melihat kepatuhan manusia. Ternyata..."
"Kalau mau manusia yang patuh kenapa gak dari awal diciptakan seperti itu? Kenapa?"
Pastor memandang aku. Sejenak menghela nafasnya kemudian melanjutkan ceritanya.
"Ade pernah dengar kisah Santo Agustinus?" Aku menaikkan kedua bahu dengan wajah sedikit manyun.
"Agustinus itu seorang anak pedagang sutera. Jaman dahulu kalau udah pedagang sutera berarti kaya rayalah. Tapi dia sifatnya gak baik. Dia suka kepelacuran, foya-foya, sampai akhirnya dia bertobat dan menjadi seorang teolog, filsuf terkenal. Dia mengajar kemana-mana, dia mencari Tuhan tapi susah ditemukannya. Suatu saat dia merasa jenuh dan pergi berjalan-jalan ke pantai. Di sana dia lihat seorang anak yang membuat gundukan pasir berbentuk gunung tapi puncaknya dipotong. Lalu dari puncak itu dibuat lubangnya ke dalam. Lalu anak itu berlari ke laut, diambilnya air dengan kedua telapak tangannya lalu cepat-cepat lari lagi dan dituangkan ke dalam gundukan pasir tadi. Lalu dia lari lagi mengambil air, dituang lagi ke dalam gundukan pasir itu, begitu berulang-ulang. Agustinus yang melihat mendekati anak itu.
"Hei, sedang apa Engkau?"
"Aku mau memindahkan air laut itu ke dalam gunung pasir ini."
"Mana mungkin! Dasar bodoh!"
Anak itu tidak perduli. Terus dilakukannya hal yang sama, berulang-ulang. Agustinus jadi marah.
"Hei anak bodoh! Berhenti! Mana mungkin bisa Engkau memasukkan air laut seluas itu ke dalam gunung pasir sekecil ini."
Amak itu berhenti, menatap Agustinus dan menjawab.
"Sama seperti Engkau. Tak mungkin Kau bisa memasukkan dan memahami semua kebesaran Tuhan ke dalam otakmu yang kecil itu."
Pastor berhenti bercerita, memandangku dan melempar senyum. Spontan aku tertawa.
"Haha... Maksudnya apa ini, Pastor?"
"Nah, aku juga punya teman yang mirip seperti Agustinus tadi, dia ingin mengetahui apa yang Tuhan pikirkan dengan otaknya yang sangat kecil itu. Si Rina namanya."
"Hahaha..." kembali aku tertawa.