Entri Populer

Kamis, 19 November 2015

UKG (Uji Kompetensi Guru) ONLINE 2015

Uji Kompetensi Guru atau akrab disebut UKG adalah bentuk tes yang ditujukan kepada para pendidik baik yang sudah PNS maupun belum. Tahun ini UKG dilaksanakan mulai 9 November secara online di seluruh Indonesia. Jumlah soal yang diujikan berbeda tiap mata pelajaran dengan komposisi, materi pedagogik sebanyak 30% dari jumlah soal dan 70% profesional. Apa tujuan UKG masih abu-abu menurut saya, karena UKG tahun-tahun sebelumnya tidak tampak adanya tindak lanjut. Namun, mari berasumsi, tak mungkin diadakan program bila tak ada tujuan. UKG ini juga saya harap mampu memaslahatkan pendidikan Indonesia nantinya.

Walaupun ditujukan kepada para pendidik yang notabene sehari-harinya bergelut dengan materi dan soal-soal, tak urung UKG menimbulkan histeria tersendiri bagi mereka. Auranya tak beda jauh dengan ketakutan siswa saat menghadapi UN. Cukup lucu sebenarnya, tim yang sering memberikan ujian ternyata tegang juga ketika mendapat giliran diuji.

Mungkin karena sistem online ini yang membuat sebagian guru gentar. Bagaimana tidak, tak jarang guru yang ikut ujian sudah berumur lewat paruh baya, yang mungkin lima tahun lagiakan pensiun. Jujur saja, mereka kurang fasih dengan yang namanya teknologi berbasis internet. Belum lagi untuk fokus membaca soal langsung dari layar monitor dirasa lebih sulit dibanding membaca di lembaran kertas. Ditambah dengan penghitungan waktu ujian di ujung kanan atas layar yang seolah mengintimidasi.
Mujurnya, walau belum genap mengabdi setahun, saya juga diundang ikut UKG tahun ini dan mendapat giliran di gelombang pertama (Kamis, 12 November). Nah, di lingkungan kerja saya beda lagi cuacanya. Nilai UKG menjadi penyulut rasa iri, sentimen, dan perang dingin. Tampaknya oknum-oknum disekitaran saya, yang kebetulan masih berusia 35 tahun ke bawah, belum memiliki softskill yang mumpuni. Belum bisa mengakui dan mengapresiasi kelebihan orang lain serta belum bisa mengakui dan introspeksi kekurangan diri sendiri. Darah muda.

Selasa, 03 November 2015

"PATIK PAOPATHON" KATANYA

Matahari perlahan merangkak naik, embun diam-diam menghilang. Minggu pagi di kota tempat aku mengabdi (saat entri ini ditulis). Pukul 7 kurang sedikit. Kugulung rambut ikalku, kupakai jacket merah oversize-ku, kujinjing cangkul dan sapu lidi, lalu berjalan ke luar. Hari itu aku memang sudah bertekat membersihkan halaman rumahku yang rumputnya udah setinggi betis. Mumpung ada waktu, kenapa tidak?! Toh, kebaktian baru akan dimulai lebih dari tiga jam lagi. Itung-itung sekalian bakar lemak.

Mulailah aku mencangkul tanah seluas satu kali setengah meter itu beriringan dengan tetangga kiri dan kananku yang juga sedang sibuk sendiri. Tetangga sebelah kiriku, si pemilik warung sembako kecil-kecilan itu, sedang mencincang-cincang daun talas untuk makan ternaknya, sedangkan tetangga di kananku fokus menggoreng tahu isi dan bakwan yang merupakan komoditas utama dagangannya. P.s. Tetangga kiri dan kananku beragama nasrani.

Baru beberapa menit aku jadi petani dadakan, seorang bapak datang dan nongkrong di warung sebelah kiri rumahku. Dia berbasa-basi sekelak, aku pun menjawab sesopan dan sesingkat mungkin dengan bahasa daerah yang janggal didengar.

"I HKBP do ho marminggu?" (kamu jemaat HKBP ya?)

"Daong, i katolik, Amangboru." (gak, aku katolik, Om.)

"Oo..." jawabnya dengan tempo suara yang dipanjangkan, kemudian melanjutkan,

"adong do patik di hami, patik paopathon..." (ada perintah Allah, perintah keempat)

Bapak itu memandangku yang sedang asyik memukul-mukulkan rumput ke gagang cangkul agar tanah yang menempel di akarnya terlepas. Aku terdiam.

Aku bingung. Terus terang aku gak tau apa itu patik paopathon. Gak hafal. Sampai akhirnya sepulang gereja aku bertandang ke rumah "orang tua pungut"-ku (Bang Galung & Kak Ho) lalu bertanya tentang hal itu.

"Hmm... Patik paopathon, kuduskanlah hari sabat, itu!" katanya.

Aku tambah bingung. Kalau itu artinya, kenapa bapak tadi ngomong gitu? Apa dia menganggap aku tidak menguduskan hari minggu? Aku kan gereja, tepat waktu pula. Apa karena aku mencangkul tanah di hari minggu selayaknya orang bekerja? Tapi aku mencangkul bukan untuk bekerja. Pure niatnya untuk kebersihan, sama aja kayak nyapu ato ngepel rumah. Kalau hal itu yang jadi masalah, trus tetangga sebelah kananku yang jelas-jelas menjual gorengan di hari minggu untuk mencari nafkah gimana ceritanya?

Atau karena aku memakai alat tajam makanya dia bilang seperti itu? Tetangga sebelah kiriku juga menggunakan golok pagi itu. Atau mungkin bapak itu hanya ingin bercanda dengan menggunakan topik itu tapi, karena selera humor kami beda jadi miscomunication begitu..

Entahlah...

Rabu, 16 September 2015

NGELEBAY VIA CURHAT

"Judul macam apa ini?"

Kalimat itu muncul sebelum aku menyentuh panel publish di layar. Agak sedikit ood, tapi percayalah isi entri ini tak se-random kelakuan anak yang dipengaruhi hormon pubertas. Lagipula bukankah kita tak semestinya menilai sesuatu dari sampulnya saja?

Anyways,

semenjak penugasanku beberapa bulan lalu ke sebuah daerah yang masih merangkak menuju modernitas, aku kerap kebagian tugas menjadi pembina, pelatih, sekaligus membawa siswa untuk mengikuti perlombaan di tingkat kabupaten-dalam hal ini dengan membawa nama kecamatan. Tertantang? Sudah pasti! Walau kemampuanku gak seberapa, tapi aku bersemangat menuangkan imajinasi, kreasi, dan potensi yang kumiliki agar dapat disaksikan oleh banyak orang. Tentunya melalui media siswa-siswi tadi.

Pernah aku membawa kontingen untuk mengikuti lomba tortor, pernah juga membawa tim vocal group. Lomba pidato juga sudah pernah kusambangi. Tapi sayangnya satu pun tak ada yang berhasil membawa gelar juara. Malu, kesal, capek semua berbaur dan tertuang dalam segelas rasa yang bernama kekecewaan.

Kuakui potensi dan mental anak-anak yang menjadi wakil dari daerah ini belum bisa dibandingkan dengan anak-anak yang berdomisili dan dibesarkan di ibu kota kabupaten. Bagaimana tidak, fasilitas untuk tumbuh kembang belum bisa dikatakan memadai, baik dari segi edukasi maupun sekedar sarana hiburan. Jadi darimana anak-anak menumbuhkan potensi, minat dan bakatnya dengan kondisi seperti itu. Kefasihan mereka berbahasa Indonesia pun belum mencapai batas KKM. Dan menurutku inilah salah satu faktor yang memperkecil peluang kami menjuarai lomba pidato Hari Anak Nasional kemarin. Dialek kedaerahan yg kental, intonasi yang terkadang susah dibedakan antara marah atau bertanya, dan faktor kebahasaan lain membuat anak dari daerahku tak mampu menyaingi anak dari ibu kota yang notabene fasih berbahasa Indonesia. Belum lagi dari segi look-nya. Bisakah anak dari daerah yang pulang pergi ke sekolah dengan berjalan kaki sejauh 6km dan sesampainya di rumah langsung ke kebun membantu bapak ibunya menyaingi penampilan anak-anak ibu kota yang kesibukannya seputar bimbel, sekolah, dan ekskul? Jawab di dalam hati masing-masing.
Kedua, terkadang ada kebijakan dari pihak panitia yang kuanggap tidak adil. Contohnya, dalam perlombaan, tiap kecamatan hanya diperbolehkan mengirim satu perwakilan, TAPI, khusus untuk daerah ibu kota kabupaten, semua sekolah yang ada di sana boleh mengirimkan masing-masing satu wakilnya. Ini maksudnya apa? Jelaslah probabilitas kami untuk menang semakin kecil.

Aku teringat saat mengikuti technical meeting acara Pesparawi beberapa bulan lalu, seorang pelatih tim dari kecamatan yang lumayan jauh dari ibu kota berusul pada panitia. Bagaimana kalau tim yang berlomba dibagi menjadi 2 grup. Grup 1 untuk para peserta dari ibu kota, dan grup 2 untuk peserta yang berasal dari daerah terjauh dan terluar seperti kami ini.

"Kalau gitu persaingan kan terasa lebih seimbang, Pak." ujar pelatih itu dengan harapan peserta dari daerah punya kesempatan lebih besar untuk menang. Namun, usul itu ditolak mentah-mentah. Nyeseeekk..

Nah, tadi siang kembali aku diberi mandat tuk melatih dan membawa tim tari sebagai perwakilan kecamatan dalam acara peringatan hari jadi kabupaten. Muncul rasa malas mengikuti kegiatan seperti itu lagi. Terlebih karena adanya stigma yang mengatakan,
"Par kota i do na maniop annon." (tim dari kota yang bakal menang)
dan sayangnya hal itu memang benar terjadi. Kalau paham seperti itu sudah tertanam dan kerap terjadi dalam tiap event, buat apa kami ikut serta? Apa hanya sebagai objek yang ditempatkan di susunan bawah untuk jadi tumpuan kaki agar kalian bisa naik? Atau hanya sebagai pelengkap penderita?

Entahlah..

Yah, begitulah persepsiku setelah beberapa kali ikut ambil bagian dalam acara seperti itu di kabupaten ini. Semoga penilaianku ini benar-benar objektif dan bukan sekedr penilaian absurd akibat dibutakan emosi karena timku tak pernah menang. Semoga juga pihak lain yang nantinya akan menyelenggarakan event serupa mau mempertimbangkan usul tadi. Dan aku yakin kedepannya anak-anak dari daerah pun pasti bisa.

Sabtu, 30 Mei 2015

TERSENYUM SAMBIL MERENUNG

Pernah aku berkunjung mendadak-tanpa planning-ke Pastoran di Paroki tempat aku bertugas, seorang Pastor Paroki menyambut dengan ramah seperti saat kunjunganku terdahulu. Kami duduk di kamar makan, bercerita dan bercanda hal-hal santai dan ringan. Namun, entah karena apa-aku pun lupa-materi pembicaraan kami bergeser menjadi sedikit berat dan ilmiah. Sementara saat itu jarum jam hampir berhimpit menunjuk angka dua belas dini hari.
"Udah jam segini ya. Masih bisa Ade mendengar cerita yang agak biblis?"
"Bisa!"
"Sanggup?"
"Iya."
"Okelah. Ade tau penciptaan kan? Manusia pertama yang diciptakan Tuhan adalah Adam. Karena gak baik kalau dia sendiri, diciptakan lagi Hawa. Mereka ditempatkan di tempat yang baik, mereka bebas, bertelanjang kesana kemari, makan dengan enak, sampai akhirnya datang iblis. Kita sebut saja Si Ular seperti dalam Alkitab itu. Dia menggoda Hawa. Hawa makan buah pengetahuan yang dilarang Tuhan, setelah itu dia kasih lagi kepada Adam. Setelah mereka makan, mereka jadi sadar dan malu karena mereka telanjang. Lalu mereka diusir dari tempat itu karena sudah melanggar perintah Tuhan. Dari cerita itu siapa yang paling salah? Menurut ade lah..."
"Adam?"
"Hmm.. Iya. Adam kurang tegas. Seandainya dia menolak tidak ikut makan atau mengawasi Hawa biar buah itu gak dimakan, mungkin tidak seperti ini manusia sekarang."
"Jadi, kalau seandainya Hawa makan buah itu tapi Adam gak, apa manusia gak diusir, Pastor?"
"Bisa jadi..."
"Atau Hawa yang diusir tapi Adam tetap di tempat itu?"
"Ya, bisa jadi..."
"Akh, bisa jadi apa? Gak jelas..."
"Yah, itu kan tidak ada yang tau, Ade. Tuhan yang tau."
"Tapi aku punya pertanyaan, Pastor."
"Apa itu?"
"Kalau emang buah terlarang itu gak boleh dimakan, kenapa Tuhan menempatkannya di situ! Trus dibiarin lagi ular menggoda Hawa. Berarti kan yang jahat Tuhan."
"Loh..."
"Iya kan!"
"Haha. Kalau sesuatu itu ada dihadapan kita, apa berarti kita berhak mengambilnya?"
"Iyaa.. Tapi awalnya mereka kan gak mau ambil. Tapi kenapa Tuhan biarkan ular itu menggoda? Apa maksud-Nya?"
Pastor tertawa geli. Mungkin merasa aneh dengan pola pikirku.
"Yah, seperti kataku tadi. Kalau pun ada sesuatu di depan kita bukan berarti seenak kita memegangnya, memilikinya. Seperti Ade saat ini datang ke Pastoran. Apa berarti aku bisa seenaknya megang-megang Ade?"
"Memang gak bole, tapi itukan dari sudut pandang kita, manusia. Yang kupermasalahkan dari sudut pandang Tuhan itu. Apa maksud-Nya meletakkan pohon itu di tengah-tengah kalau emang gak boleh dimakan. Uda gak disentuh ama Adam Hawa, dibiarin lagi ular menggoda ampe akhirnya dimakan. Apa mau-Nya?"
"Tuhan kan ingin melihat kepatuhan manusia. Ternyata..."
"Kalau mau manusia yang patuh kenapa gak dari awal diciptakan seperti itu? Kenapa?"
Pastor memandang aku. Sejenak menghela nafasnya kemudian melanjutkan ceritanya.
"Ade pernah dengar kisah Santo Agustinus?" Aku menaikkan kedua bahu dengan wajah sedikit manyun.
"Agustinus itu seorang anak pedagang sutera. Jaman dahulu kalau udah pedagang sutera berarti kaya rayalah. Tapi dia sifatnya gak baik. Dia suka kepelacuran, foya-foya, sampai akhirnya dia bertobat dan menjadi seorang teolog, filsuf terkenal. Dia mengajar kemana-mana, dia mencari Tuhan tapi susah ditemukannya. Suatu saat dia merasa jenuh dan pergi berjalan-jalan ke pantai. Di sana dia lihat seorang anak yang membuat gundukan pasir berbentuk gunung tapi puncaknya dipotong. Lalu dari puncak itu dibuat lubangnya ke dalam. Lalu anak itu berlari ke laut, diambilnya air dengan kedua telapak tangannya lalu cepat-cepat lari lagi dan dituangkan ke dalam gundukan pasir tadi. Lalu dia lari lagi mengambil air, dituang lagi ke dalam gundukan pasir itu, begitu berulang-ulang. Agustinus yang melihat mendekati anak itu.
"Hei, sedang apa Engkau?"
"Aku mau memindahkan air laut itu ke dalam gunung pasir ini."
"Mana mungkin! Dasar bodoh!"
Anak itu tidak perduli. Terus dilakukannya hal yang sama, berulang-ulang. Agustinus jadi marah.
"Hei anak bodoh! Berhenti! Mana mungkin bisa Engkau memasukkan air laut seluas itu ke dalam gunung pasir sekecil ini."
Amak itu berhenti, menatap Agustinus dan menjawab.
"Sama seperti Engkau. Tak mungkin Kau bisa memasukkan dan memahami semua kebesaran Tuhan ke dalam otakmu yang kecil itu."
Pastor berhenti bercerita, memandangku dan melempar senyum. Spontan aku tertawa.
"Haha... Maksudnya apa ini, Pastor?"
"Nah, aku juga punya teman yang mirip seperti Agustinus tadi, dia ingin mengetahui apa yang Tuhan pikirkan dengan otaknya yang sangat kecil itu. Si Rina namanya."
"Hahaha..." kembali aku tertawa.