Entri Populer

Selasa, 03 November 2015

"PATIK PAOPATHON" KATANYA

Matahari perlahan merangkak naik, embun diam-diam menghilang. Minggu pagi di kota tempat aku mengabdi (saat entri ini ditulis). Pukul 7 kurang sedikit. Kugulung rambut ikalku, kupakai jacket merah oversize-ku, kujinjing cangkul dan sapu lidi, lalu berjalan ke luar. Hari itu aku memang sudah bertekat membersihkan halaman rumahku yang rumputnya udah setinggi betis. Mumpung ada waktu, kenapa tidak?! Toh, kebaktian baru akan dimulai lebih dari tiga jam lagi. Itung-itung sekalian bakar lemak.

Mulailah aku mencangkul tanah seluas satu kali setengah meter itu beriringan dengan tetangga kiri dan kananku yang juga sedang sibuk sendiri. Tetangga sebelah kiriku, si pemilik warung sembako kecil-kecilan itu, sedang mencincang-cincang daun talas untuk makan ternaknya, sedangkan tetangga di kananku fokus menggoreng tahu isi dan bakwan yang merupakan komoditas utama dagangannya. P.s. Tetangga kiri dan kananku beragama nasrani.

Baru beberapa menit aku jadi petani dadakan, seorang bapak datang dan nongkrong di warung sebelah kiri rumahku. Dia berbasa-basi sekelak, aku pun menjawab sesopan dan sesingkat mungkin dengan bahasa daerah yang janggal didengar.

"I HKBP do ho marminggu?" (kamu jemaat HKBP ya?)

"Daong, i katolik, Amangboru." (gak, aku katolik, Om.)

"Oo..." jawabnya dengan tempo suara yang dipanjangkan, kemudian melanjutkan,

"adong do patik di hami, patik paopathon..." (ada perintah Allah, perintah keempat)

Bapak itu memandangku yang sedang asyik memukul-mukulkan rumput ke gagang cangkul agar tanah yang menempel di akarnya terlepas. Aku terdiam.

Aku bingung. Terus terang aku gak tau apa itu patik paopathon. Gak hafal. Sampai akhirnya sepulang gereja aku bertandang ke rumah "orang tua pungut"-ku (Bang Galung & Kak Ho) lalu bertanya tentang hal itu.

"Hmm... Patik paopathon, kuduskanlah hari sabat, itu!" katanya.

Aku tambah bingung. Kalau itu artinya, kenapa bapak tadi ngomong gitu? Apa dia menganggap aku tidak menguduskan hari minggu? Aku kan gereja, tepat waktu pula. Apa karena aku mencangkul tanah di hari minggu selayaknya orang bekerja? Tapi aku mencangkul bukan untuk bekerja. Pure niatnya untuk kebersihan, sama aja kayak nyapu ato ngepel rumah. Kalau hal itu yang jadi masalah, trus tetangga sebelah kananku yang jelas-jelas menjual gorengan di hari minggu untuk mencari nafkah gimana ceritanya?

Atau karena aku memakai alat tajam makanya dia bilang seperti itu? Tetangga sebelah kiriku juga menggunakan golok pagi itu. Atau mungkin bapak itu hanya ingin bercanda dengan menggunakan topik itu tapi, karena selera humor kami beda jadi miscomunication begitu..

Entahlah...

2 komentar:

komentar sangat diterima...
gak dikomentari juga gapapa,..