Entri Populer

Sabtu, 12 Maret 2011

STILISTIKA CERPEN

1. PENGERTIAN STILISTIKA CERITA PENDEK
Stilistika cerita pendek adalah penelaahan cara penggunaan bahasa oleh pengarang untuk menimbulkan efek dalam cerita pendek. Oleh karena itu fokus stilistika cerita pendek antara lain, bagaimana penggunaan bahasa dalam cerita pendek, apa ciri –ciri bahasa cerita pendek, apa komponen stil cerpen, bagaimana hubungan bahasa dengan cerita pendek.

2. KOMPONEN STIL CERITA PENDEK
Komponen stil cerpen meliputi:
a. unsur leksikal
b. unsur gramatikal
c. unsur retorika
d. unsur kohesi
e. unsur percakapan
berikut akan dijelaskan sedikit mengenai unsur leksikal dan unsur gramatikal.

A. Unsur Leksikal
Adalah penggunaan kata tertentu yang sengaja dipilih dalam cerita pendek oleh cerpenis. Bentuk kata berkaitan dengan jenis kata yang digunakan. Makna yang dipilih adalah kata yang bermakna konotasi yang dapat mengungkapkan gagasan, yang membangkitkan asosiasi.
Akibat penggunaan pilihan kata ini, dapat terjadi penyimpangan, namun dapat memperjelas makna.

B. Unsur Gramatikal
Sama maknanya dengan struktur kalimat. Berdasarkan struktur kalimat ini dapat diungkapkan pesan, atau makna yang sering disebut struktur batin.
Struktur kalimat dapat berwujud pembalikan, pemendekan, pengulangan, serta penghilangan unsur tertentu. Hal itu dilakukan untuk menekankan unsur estetis atau pesan yang terkandung. Unsur kalimat berupa kompleksitas kalimat, jenis kalimat, jenis klausa dan prosa.

3. CONTOH ANALISIS STILISTIKA CERITA PENDEK
Adapun cerpen yang akan kami analisis adalah cerpen Robohnya Surau Kami karya A. A. Navis. Cerpen ini akan ditelaah berdasarkan struktur kalimat yang dihubungkan dengan gaya bercerita dan pemilihan leksikal yang akan dikaitkan juga dengan pemakaian majas.

a.Struktur Kalimat
Dalam cerpen Robohnya Surau Kami, A. A. Navis banyak menggunakan kalimat –kalimat pendek. Bahkan ada kalanya ia menggunakan bentuk yang meyerupai kalimat, namun karena pemakaian kordinator tertentu strukturnya menjadi taksa. Misalnya;
“Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku denganmenumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar.”
Anak kalimat pada kalimat itu adalah beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis sedangkan induk kalimatnya adalh tuan berhenti dekat pasar. Hubungan antara kedua kalimat itu adalah hubungan persyaratan, karena dalam kalimat itu dipakai kata penghubung kalau.
Sedangkan struktur yang menyerupai kalimat misalnya;
“Dan di ujung itu nanti akan Tuan temui sebuah surau tua. Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua, yang biasanya duduk di sana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat.”
Kedua kalimat itu diawali dengan kata dan yang biasanya digunakan untuk merangkai klausa dalam kalimat majemuk setara. Namun bila diperhatikan lebih cermat, rangkaian kata itu merupakan sebuah kalimat. Dengan menghilangkan kata dan, kita akn memperoleh susunan kalimat yang apik.
“Di ujung jalan itu nanti Tuan temui sebuah surau tua. Di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua, yang biasanya duduk di sana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketatannya beribadat.”
Di dalam cerpen Robohnya Surau Kami ditemukan 31 kalimat yang diawali dengan kata dan, 25 kalimat yang diawali kata tapi, 4 kalimat berawal kata karena dan 1 kalimat dengan kata sebab. Di dalam cerpen ini juga digunakan kata hingga yang memiliki fungsi yang sama dengan kata sehingga. Kata tetapi pun disingkat menjadi tapi, begitu pula sedangkan menjadi sedang.
Kecendrungan memakai kalimat yang pendek itulah yang menyebabkan penyingkatan atau, bahkan, pelepasan kata-kata subdinator seperti itu.
Dari contoh itu dapat disimpulkan bahwa “penyimpangan pemakaian bahasa” dalam struktur kalimat itu dapat disebut sebagai gaya cakapan – memberikan kesan adanya dampak untuk lebih menonjolkan sesuatu.

b.Struktur Kalimat Gaya Cakapan dan Gaya Bercerita
Robohnya Surau Kami menggunakan pencerita akuan. Keuntungan gaya bercerita itu adalah tumbuhnya keakraban antara pencerita, cerita, dan pembaca. Akan tetapi, gaya itu mempunyai keterbatasan, tidak seperti gaya bercerita dengan pencerita diaan. Pencerita diaan dapat memberikan kisah yang lebih bebas sifatnya, dapat menyoroti tokoh-tokoh dan lakuan mereka dari pelbagai sudut (Sudjiman, 1988:64-65 dalam Stilistika).
Cerpen Navis ini bercerita dengan pencerita akuan. Tetapi meskipun pencerita erlihat di dalam cerita, “aku” bukanlah tokoh penting di dalam kisahan itu. Tokoh penting di dalam Robohnya Surau Kami adalah kakek penjaga surau. Mulanya kakek digambarkan sebagai orang tua yang penampilannya menggambarkan ketaatan beribadahnya. Akan tetapi pada akhirnya kakek mati membunuh diri. Inti kisahan yang menjadi penyebab bagi bunuh dirinya kakek adalah bualan Ajo Sidi.
Pengarang memilih ragam gaya cakapan itu untuk lebih mengedepankan sikap cakapan pada kisahnya. Di samping itu, agar lebih terkesan bahwa keseluruhan kisahan disampaikan “aku” kepada pembaca yang sejak kalimat pertama disapanya dengan tuan.
Pengarang sadar betul akan hal itu, bukan saja dengan pemilihan struktur kalimat yang mengesankan akan “gaya cakapan”, melainkan juga dengan pemakaian tanda baca, yaitu tanda petik ganda (“) dan petik tunggal (‘) di dalam menampilkan tuturan tokoh.

c. Pemilihan Leksikal
Cerpen ini bersifat satire, mengejek sifat orang yang tidak peduli pada masyarakat atau lingkungan. Hal itu dapat dilihat pada salah satu kalimat pencerita.
“Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak dijaga lagi.”
“Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak memperdulikan mereka sedikit pun.”
Sifat satire itu disajikan dengan suasana humor, suasana sambil lalu seperti itu tidak menggurui pembaca. Untuk keperluan itu dipilihlah bentuk leksikal tertentu sehingga sifat humor itu tampil. Pemakaian sapaan tuan, misalnya yang di dalam pergaulan sehari-hari jarang digunakan membangkitkan nada humor. Begitu pula, nama Haji Slah dan Ajo Sidi bersifat humor.
Pemakaian kata sukses untuk melukiskan kemahiran Ajo Sidi di dalam membual pun bernada humor atau, pada gambaran Haji Saleh, dan kawan-kawan yang ingin memproses dan meresolusikan Tuhan yang mereka anggap mungkin silap.
Nada humor juga ditimbulkan oleh pemakaian kita mempropagandakan di dalam kalimat Haji Saleh ketika ia mengajukan resolusinya.
Pemilihan leksikal untuk menimbulkan citraan lokal, terlihat pada pemakaian ajo, garin dan kata surau, kata indonesia yang frekuensi pemakaiannya lebih tinggi di daerah sumatera.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar sangat diterima...
gak dikomentari juga gapapa,..